Kokohnya Surau Kami

Kalau bertahun-tahun yang lalu Tuan datang ke tempat masa kecilku, Tuan akan melihat padang rumput dan rumah-rumah setengah jadi. Di tengah-tengahnya, akan Tuan temui sebuah surau beratap bintang.

Kalau Tuan berbaring dan menatap langit-langit surau, akan terlihat burung gereja dan kipas angin bertengger di kayu-kayu hijau yang lapuk. Jika Tuan menetap lebih lama, akan terdengar suara anak sekolah bergerombolan. Berlarian atau berbaris berusaha mengenal Tuhan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke tempat masa kecilku, surau itu sudah semakin ramai.

Kini surau itu sudah bertikar tebal dan berpendingin ruangan. Walau tamu-tamunya yang baru nampaknya semakin berapi-api saat menabuh genderang perang untuk melawan apapun musuh mereka kala itu.

Tetapi kalau Tuan datang di hari yang tepat, akan terlihat warga sekitar mengintip penasaran melihat lembu dan parang. Mengamati lantai yang berubah merah merona seperti gincu, menyucikan tanah di sekitarnya. Kalau Tuan beruntung dan datang di lain hari, Tuan akan melihat semua orang berduyun-duyun datang ke surau setelah fajar memakai baju berwarna-warni. Bapak dan anak bergandengan dan tersenyum lebar digelimangi madu cahaya hangat.

Kalau kemarin Tuan bersinggah di surau, seperti tamu yang lain, Tuan mungkin akan berhenti sebentar untuk mencari kedamaian atau sekadar mengisi perut.

Tetapi kalau Tuan tumbuh bersama surau itu; bersama pelantang suaranya; bersama cahaya lampu gantungnya; bersama derap langkah manusianya;

Tuan dapat memejamkan mata dan kembali melihat burung gereja bertengger di kayu lapuk, bertahun-tahun yang lalu, di tempat masa kecilku, di surau beratap bintang.

(Originally featured on Discourse Zine: Jakarta Memories, March 2021)